Sabtu, 27 Maret 2010

Penghujanku



Sudah terlampau lama aku mengurung umpatan, gusaran, makian dan teman-teman sejawatnya dalam kotak kepasrahan yang hari ini begitu ingin kuledakkan hingga berceceran.
Dan berulang kali mengenali rasa ingin ini sebatas hembusan tiada arti, menguap begitu saja saat lagi-lagi keterbatasanku memojokkan pada kepengecutan akan pikiran lain di luar sistemku.
Ya, aku manusia dengan seribu macam phobia yang menggerakkanku untuk mentolerir jutaan maaf, meski sesungguhnya aku tidak pernah ingin mengampuni.  Karena bagiku maaf tidak pernah mampu mengubah masa lalu, apalagi menyamankan masa depan.
Hari ini tangisku begitu ingin mencuat, mempertunjukkan dirinya pada mereka yang hanya pernah melihat seringai bodohku, meyakinkan mereka dan terutama diriku sendiri bahwa akupun manusia.
Lagi-lagi aku tidak sanggup, karena duniaku terlalu rapuh untuk diguncang walau dengan setetes air mata.
Maka kehadiranmu, hujan hari ini, cukup untuk meredam muntahan emosiku.
Rintik-rintikmu yang menyapa ubun-ubunku, telah mengokohkan kesabaran untuk berpijak kembali
Temperaturmu yang dingin mampu memadamkan segenap lonjakan ingin membakar masaku
Dan bahkan ketika kau beranjak, kau tinggalkan aroma tanah basah untuk menemaniku pulang menghadapi kegetiran
Meski hampir tiap hari aku begitu mengutuki kehadiranmu pada duniaku, namun kaulah alasan aku mensyukuri kehidupanku, penghujanku…

Minggu, 07 Maret 2010

Struggle to Still be...Naive? y!




The Earth is one but the world is not. We all depend on one biosphere for sustaining our lives. Yet each community, each country, strives for survival and prosperity with little regard for its impact on others. Some consume the Earth’s resources at a rate that would leave little for future generations. Others, many more in number, consume far too little and live with the prospect of hunger, squalor, disease, and early death. (World Commission on Environment and Development, Our Common Future, 1987)

Ada yang menarik dari pernyataan World Commission on Environment and Development tersebut, lebih dari sekadar pesan menjaga bumi kita satu-satunya untuk generasi selanjutnya, lebih dari pengingat betapa kesenjangan sosial adalah masalah nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya bukan pakar bidang lingkungan, bukan pula aktivis yang getol memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya agar dipertimbangkan dalam kebijakan pemerintah, saya hanya tertarik pada kalimat: Yet each community, each country, strives for survival and prosperity with little regard for its impact on others.
Baru beberapa hari ini saya berbincang-bincang dengan para sahabat lama saya mengenai pekerjaan kami, di tempat dan waktu yang berbeda. Rata-rata dari mereka mengeluhkan kehidupan politik kantor yang ternyata penuh dengan intrik, maklum, kami para lulusan baru yang tidak pernah membayangkan dunia kerja sebelumnya cukup terkejut dengan fakta yang kami rasakan*oke, saya mungkin belum mengalaminya. Seorang sahabat saya menuturkan betapa busuknya perlakuan teman-teman barunya. Contohnya di depan, mereka belaku layaknya anak kucing yang manis terhadapa para atasan dan rekan sejawatnya, namun di belakang, mereka saling mengumbar keburukan masing-masing. Sahabat saya, seorang calon diplomat RI itu berkata: “dan selama 37 tahun ke depan, gue akan satu tempat kerja dengan orang-orang seperti itu, lu bayangin, 37 tahun?? Gue rasa, gue gak akan nemu sahabat sejati di sini…”. Saya hanya mengerutkan alis mendengar ceritanya.
Di kesempatan lain, saya mendengarkan dengan cermat kisah sahabat pria saya yang justru dianggap sebagai ‘duri dalam daging’ di kantornya, saya mengenal pria ini dengan cukup baik, saya sering memanggilnya dengan sebutan kepala batu karena kekerasan pendiriannya, karena ketidakpeduliannya terhadap pendapat orang lain. Namun kali ini, dengan suara yang sangat lemah dan (mungkin) lelah dia memaparkan peristiwa yang dialaminya di tempat kerja, di mana dia dikucilkan karena alasan-alasan yang semakin tidak rasional, mulai dari kedekatannya dengan senior hingga pola berpacaran dengan kekasihnya. Kejadian tersebut membuatnya sedikit terpukul&merasa tidak betah, yang lebih mengejutkan, orang yang ‘mengompori’ suasana tidak nyaman tsb adalah seseorang yang berjuang bersamanya untuk dapat diterima di tempat kerja tsb. Kali ini saya tertawa, rupanya bukan hanya Negara saja yang menghalalkan segala cara demi tercapai kekuasaan dan kedamaian seperti dalam buku Morgenthau (Politics Among Nation: Struggle for Power and Peace). Setiap inti kehidupan, baik manusia, binatang, bahkan ‘sesuatu yang bersel satu’ berlomba, bertahan, berjuang, apapun itu istilahnya, demi sebuah ‘kedamaian’ (atau utopia?) yang berbeda makna dan bentuk bagi pelakunya. Manusia, memiliki parameter damai yang sangat beragam, ada yang mengartikannya sebagai sebuah keamanan jabatan, keterjaminan masa depan, ketercukupan, kenyamanan, kemudahan, apapun yang dapat memuaskannya. Sejujurnya, saya malas membahas konstruk tsb., karena saya sendiri tidak memahami pikiran semua orang, yang saya tahu, sahabat pria saya demikian terganggu dengan kegiatan ‘tikung-menikung’ di kantornya hingga kekeraskepalaannya memudar&sedikit mengubah kepribadiannya. Sahabat-sahabat saya balik bertanya, apa yang akan saya lakukan jika jadi mereka, saya hanya menjawab
“entahlah, gue cuma pengen hidup tenang, tentram,  yaa..bisa tersenyum dan tertawa tiap hari buat gue udah cukup. Gue ga mau ikut-ikutan ‘bertempur’ hanya untuk sesuatu yang temporal, yang bakal gue lepas kalo gue mati. Gue percaya gue punya waktu selamanya nanti, ngapain dipusingin masalah duniawi gini? Terkecuali, gue terpaksa melakukannya demi orang-orang yang berarti buat gue. Selebihnya, gue ga mau menyulut bahkan hanya perdebatan kecil..”
Dan giliran sahabat-sahabat saya yang menertawakan saya, seorang teman saya berkata bahwa saya tetap naïf seperti biasanya, seperti sepuluh tahun lalu saat saya masih berseragam putih-biru.  Terserah, mungkin dengan cara inilah saya menjaga dunia saya, bumi saya, dengan tetap menjadi seorang bocah yang mencintai hal kecil dan sederhana dalam hidupnya lalu melindunginya seperti mainan yang sangat saya sukai*meski saya tidak pernah memiliki mainan favorit.


We're the middle children of history.... no purpose or place.  We have no Great War, no Great Depression.  Our great war is a spiritual war.  Our great depression is our lives.  ~Fight Club movie

Selasa, 02 Maret 2010

For you, a thousand times over....




Dari dulu saya tidak pernah percaya pada satu cinta, satu pilihan, satu jodoh. Meskipun saya tidak ingin di poligini atau menjadi pelaku poliandri, saya percaya bahwa cinta bukanlah hitungan matematika yang akan berkurang tiap kali kita memasukan hal baru ke dalamnya. Saya sungguh mengasihi pria, pasangan, kekasih, apapun itu, yang bersama saya sekarang, namun saya tidak akan menyangkal bahwa saya juga masih menyimpan asa yang tidak berubah pada seseorang di masa lalu saya, juga pada pria-pria lain di sekitar saya. Tapi tenanglah, saya bukan ingin menceritakan roman gejolak cinta ala sinetron remaja zaman sekarang. Saya hanya ingin bercerita tentang pria yang saya cintai melebihi pria manapun di dunia ini, pria yang saya cintai semenjak saya masih berupa gumpalan darah dan akan saya kasihi sepanjang eksistensi saya, tanpa pernah dapat digantikan oleh pria mana pun di dunia ini. Pria yang tidak pernah mengetahui dengan pasti tanggal kelahirannya sendiri (dia bilang, zaman itu sedang susah, orang tidak punya kalender untuk menghitung penanggalan tapi saya tahu itu karena dia tidak pernah benar2 memikirkannya kecuali untuk persyaratan KTP), pria yang menghentikan kebiasaan menghirup nikotin kesayangannya demi empat pasang paru2 kecil dan sepasang paru2 dewasa di rumahnya, pria yang memutuskan meninggalkan pekerjaan besarnya demi terus tersambungnya doa kami pada Tuhan kami.
Pria ini tidak pernah mengatakan satu pun ungkapan cinta pada saya, pun sebaliknya saya tidak pernah berusaha mengungkapkan isi hati saya padanya. Dia membesarkan saya dengan cara yang teramat unik, tidak dengan kemesraan dan kemanjaan layaknya ayah lain. Tidak ada panggilan sayang pada saya, kami malah saling menggunakan bahasa gue-elu untuk mengganti kata saya dan kamu, dia sering meledek tentang tubuh gemuk saya & kelambanan berpikir saya, tak jarang pula kami bertengkar. Saya menebak, inilah cara dia membuat saya bertahan dalam kerapuhan dunia saya. 
 Contohnya, saya tidak yakin apa saya pernah dibelikannya boneka, seingat saya boneka pertama yang saya miliki adalah sebuah boneka anjing yang saya beli dari uang lebaran saya dan kemudian isi perutnya saya makan saat marah (ah, saya memang sakit jiwa dari kecil). Tapi dia selalu menyodorkan setiap bacaan yang dimilikinya, entah buku, koran, kitab, kamus, majalah, buletin yang menurutnya bermanfaat, pada saya. Kadang dia menyuruh saya membacanya, kadang hanya menaruhnya sampai saya tertarik. Mungkin, dia lebih senang saya berada di dalam nyata daripada berfantasi dengan mainan. Aneh memang, tapi manfaatnya saya rasakan sekarang. 

Dulu saya iri pada mereka yang dapat menceritakan masa kecil di tempat bermain favoritnya sementara saya hanya tahu rumah sakit sebagai arena saya. Sekarang saya hanya tertawa, karena ayah saya, disadari atau tidak, telah melatih saya untuk menerima kesuraman sebagai kenikmatan. Saya pernah marah padanya, saat dia memaksakan kehidupan yang sudah tidak saya inginkan lagi, saat itu saya ingin menyerah pada penyakit saya, pada hidup saya. Dia hanya berkata: “Lu punya iman?” ya, hanya itu. Dia membuat saya memahami bahwa setiap kesulitan hanya butuh keyakinan hati untuk menyelesaikannya. Sampai sekarang pun dia masih senang menguji kesabaran saya dengan mengejek pekerjaan saya dan membandingkannya dengan orang lain, saya yakin sekalipun saya memiliki pekerjaan paling prestisius, dia akan tetap mencari celah untuk menghinanya. Saya tahu maksudnya, ayah saya senang menguatkan saya dengan membuat saya belajar menerima kelemahan saya. Penyesalan terbesar saya adalah saya belum dapat membanggakannya, karena saya bukan dokter seperti anak pertamanya, calon pskiolog, atau seniman seperti bocah lelakinya, saya hanya seseorang yang tengah asyik dengan dunianya. Tapi saya tahu dia tidak pernah menyesali keberadaan saya yang penuh kecacatan, seperti saya juga tidak pernah menyesal dilahirkan sebagai anaknya.

Selamat bertambah angka satu tahun di KTP, tak peduli berapapun sebenarnya umurmu, bagiku kau tetap pria yang sama, yang akan menyediakan combro, pastel, risol atau momogi kesukaan saya setiap saya pulang kerja (dan akan selalu mengomentari kerakusan saya setiap saya menghabiskannya), yang selalu ketiduran di kursi setiap menunggu saya kemalaman bermain, yang sedari jam empat pagi menyiapkan bekal makan siang saya di kantor, dan yang akan mencubit pipi saya setiap kali saya berceletuk bodoh tentang suatu peristiwa. Meski tulisan ini tidak akan pernah sampai padanya, saya yakin dia akan paham, bahwa sepanjang eksistensi saya, saya akan selalu mengagumi dan mengasihinya serta bersedia melakukan apapun demi kebahagiaannya..apapun..kapanpun.. berapa kali pun...



Minggu, 28 Februari 2010

Reconciling with Past (dua ke tiga)

       I 
forget it, 
                 I 
forgive myself
released my own soul from regreting. 
freeing my mind from revenge
see, Im not longer devil
hear, Im not longer deify a sound of disappointing
smell my easiest breathe
Taste new formula of never look back!


If I die tomorrow
I'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on  
(The Spirit Carries On-Dream Theater)

SATU KE TIGA


Lelaki itu tidak buta huruf, namun dia enggan menulis, bahkan tugas kuliahnya pun tak jarang hanya dipaste dari internet atau sumber tulisan lain. Dia bilang alasannya  karena dia tidak pandai berkata-kata. Mungkin benar. Setiap kami tengah menghabiskan waktu bersama, entah itu dalam perjalanan 250 km dari tempat kuliah ke habitat asli kami, atau ketika seharian menghabiskan waktu liburan, sayalah yang lebih sering berceloteh sementara dia hanya mengiyakan atau mentidakkan kalimat saya. Maka ketika suatu hari saya merengek meminta dibuatkannya rangkaian kata-kata, dia hanya terpaku. Dia bilang mintalah yang lain, saya jawab tidak mau. Perempuan lain mungkin menginginkan barang yang lebih konkret, entah mengapa saya percaya bahwa bahasa tulisan menggambarkan perasaan seseorang terhadap apa yang ditulisnya. Meski saya tidak menampik, banyak perayu ulung dan menipu kelas kakap juga pandai menyembunyikan kebenaran dalam kata-kata. Dia minta waktu seminggu, saya mengiyakan. Terserah, yang penting harus jadi.. Kemudian di hari jadi ikatan kami yang kedua*meski saya geli ada orang-orang yang menganggap tanggal ‘jadian’ sebagai hari penting, bagi saya itu hanya lelucon untuk menertawakan kebodohannya karena memilih saya, dia memberikan sebuah amplop surat biasa—yang berwarna putih dengan garis biru-merah di tepinya, persisi amplop yang biasa digunakan orang tua saya saat memberitahukan ketidakhadiran saya di sekolah pada guru saya. Saya membukanya, ada kertas binder berwana cokelat dengan gambar beruang teddy di dalamnya. Saya makin penasaran, apa hasil pemikirannya selama seminggu. Perlahan saya baca sepucuk surat dari pujaan hati saya tsb., saya mengerutkan kening, menajamkan mata lalu..tertawa sekerasnya!! Entah saya yang tidak tahu diri atau memang saya tidak berperasaan, saya merasa tulisan itu lucu sekali, norak, gombal*padahal saya lebih lihai menggombal darinya. Dia bengong kemudian geleng2 kepala, mungkin dia sudah memaklumi kelakuan saya yang tidak pernah bersikap manis padanya.

Sekarang, hampir dua tahun semenjak dia memberikan tulisannya pada saya—dan semenjak itu dia kapok berkata mesra pada saya—, saya masih menyimpan buah pikirannya tersebut. Saya membacanya berulang-ulang, anehnya tidak ada lagi kegelian dan kelucuan yang saya rasakan, jangan pula beranggapan kerinduanlah yang menggantikan rasa-rasa tsb. Tidak, saya bahkan tidak merasakan hal apapun.  Sungguh saya mengasihi pria yang setiap hari sabar meng sms saya yang kadang berhari-hari kemudian baru saya balas, sungguh tidak ada yang berubah pada hati saya terhadap dia yang rela menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk menjemput saya dari jatinangor-bekasi-lenteng agung-bogor-bekasi lagi bila dia berkesempatan pulang. Hanya saja, saya kini mengartikan lain hubungan kami. Beberapa waktu lalu saya pernah berkata padanya untuk meninggalkan saya, karena jika tidak, sayalah yang akan pergi. Dia terdiam, matanya berkaca-kaca, dia tidak berani menatap saya. Saya tahu perkataan saya amatlah kejam, tapi saya punya alasan. Saya melihat di masa depan, sayalah yang akan banyak mengaturnya dalam segala hal, menyiksanya dengan beragam tuntutan yang mungkin akan sulit dipenuhinya nanti. Saya sadar perbedaan kami tidak lagi akan saling melengkapi, namun akan melenyapkan kebaikan yang kini kami rasakan. Saya mungkin terlalu berprasangka buruk dan tidak mau memperjuangkan kebersamaan kami. Biarlah, cinta bukan kemerdekaan yang menjadi nilai mutlak untuk diraih walau dengan berdarah-darah. Dia berjanji akan berubah, saya menggeleng. Dulu di masa lalu saya ngotot merombaknya di sana-sini, menjadikannya seseorang yang saya inginkan, membuatnya tidak memiliki dirinya sendiri, saya tidak akan lagi melakukannya. Masalahnya tentu saja bukan sikap lembutnya, tapi duniakulah yang terlalu keras untuknya. Aku ingin dia mencoba cinta yang lain, bertemu dengan sebanyak mungkin manusia, hingga akhirnya dapat memutuskan yang terbaik untuknya, mungkin saya, mungkin juga bukan. Dia tetap pada pendiriannya untuk tetap berada di samping saya, menyokong saya, melindungi saya. Ah, dia memang persis seperti arti namanya, pelindung, namun saya tidak ingin justru dia tersakiti oleh orang yang hendak dilindunginya. Saya memegang HP nya,memutar lagu-lagu dari dalamnya tanpa minat, seperti yang biasa saya lakukan saat ia marah atau malas berbicara denganku. Ya, lagi-lagi dia membungkamku dengan keengganannya berbahasa. Sudahlah, mungkin suatu hari dia akan menyadari kebenaran pemikiran saya, biarlah dia memilih bertahan dengan kekerasan hatiku seperti yang biasa dilakukannya atau biarkanlah prediksi saya yang salah.Biarlah saya menjaga jarak dengannya, karena seperti kata guru saya “Jarak yang menghidupkan gejolak kita...” dan saya menambahkan*kesal karena akhirnya saya setuju dengan si guru sinting saya. “Jaraklah yang pada akhirnya mengantarkan saya memahami keindahan menanti dia pulang"

Wake up in the morning, stumble on my life
Can't get no love without sacrifice
If anything should happen, I guess I wish you well
A little bit of heaven, but a little bit of hell

This is the hardest story that I've ever told
No hope, or love, or glory
Happy endings gone forever more
I feel as if I'm wasted
And I'm wastin' every day
(Mika-Happy Ending)

Sabtu, 27 Februari 2010

Gadis Langitmu

Tersebutlah sebuah negeri entah berantah yang berada di langitan luas.Penduduknya adalah makhluk-makhluk langit yang rupawan, kulitnya memancarkan cahaya putih yang akan berpendar berwarna-warni sesuai dengan suasana hatinya; rambutnya yang halus berkilau keperakan apabila tertimpa sinar rembulan dan berubah temaram saat matahari muncul; matanya sejernih aliran hulu sungai yang belum tercemar; tiap senti tubuh makhluk langit mengeluarkan aroma wewangian yang bahkan lebih harum dari campuran bunga dan tumbuhan yang ada di muka bumi. Masing-masing makhluk langit memiliki sepasang sayap transparan layaknya sayap capung namun dengan bentuk hati utuh yang indah. Makhluk langit menyenangi cahaya, karenanya mereka selalu mengadakan pesta tiap hari mengundang matahari dan bintang; mereka pun sangat senang berenang di gumpalan awan dan menari di atas permukaan  bulan. Kehidupan makhluk-makhluk langit tersebut selalu diliputi kedamaian dan ketentraman hingga suatu hari lahir makhluk langit dari sebuah bintang mati, seorang gadis langit yang sangat berbeda dengan kaumnya.
Si gadis langit tidak memiliki kulit yang bercahaya, sebaliknya kulitnya menyerap cahaya di sekitarnya; rambutnya sangat kaku, berduri dan gelap; tubuhnya tidak bearoma apapun, bahkan si gadis langit hanya memiliki satu sayap di punggung kanannya. Mungkin satu-satunya yang nampak sedikit normal hanya mata beningnya, selebihnya buruk, tidak sempurna, cacat...
Semenjak kelahiran si Gadis langit, suasana di negri tersebut menjadi kacau, satu per satu sumber cahaya lenyap, matahari bahkan enggan berkunjung. Si gadis merasa sangat terasing, selain karena wujudnya yang berbeda, tak seorang pun mau menerimanya—tidak sebagai teman, keluarga bahkan musuh—semua sangat takut berada di dekatnya karena mereka beranggapan bahwa Si gadis langit sumber kesialan mereka. Si gadis langit diperangi oleh seluruh rakyat, anak-anak akan meludah saat didekati si Gadis, remaja akan bersorak dan melempar kerikil saat disapanya; orang dewasa mencibir dan mempermalukan si Gadis depan umum sementara orang-orang tua akan memalingkan wajah berpura-pura tidak mengetahui kedzaliman yang dibuat anak-cucu mereka terhadap si Gadis. Perlahan populasi manusia langit berkurang, sebagian masyarakat memilih hijrah ke negeri lain yang jauh lebih tentram. Keluarga kerajaan mengeluarkan titah bagi rakyat langit untuk menghormati hak-hak si gadis langit dan menganggapnya sebagai bagian kerajaan, sebuah keputusan yang dirumuskan melalui perundingan dan perdebatan alot, namun sayangnya semakin menyakitkan si Gadis, karena semua orang kini hanya akan bersikap palsu kepadanya demi mematuhi aturan kerajaan.
Si gadis lalu pergi mengembara ke ujung dunianya. Ketika hampir tiba pada tepi negerinya, seorang manusia langit menyapanya, pria langit yang tidak pernah dilihat si gadis. Rupa sang pria langit persis sama dengan makhluk langit kebanyakan, hanya sayapnya jauh lebih indah. Tiap kali dikepakkan, sayap pria langit mengembang bak tirai kerajaan yang megah, transparan dengan semburat spektrum pelangi yang menawan. Si gadis benar-benar jatuh hati dan iri melihat sayap sang pria langit. Sang pria langit pun rupanya jatuh hati pada si gadis, dia terbang bermil-mil jauhnya dari pusat kerajaan hanya untuk mencari si gadis yang tersohor tersebut. Hatinya tergugah pada keberanian Si Gadis mengarungi akhir negerinya, pada ketegaran si gadis menghadapi cercaan rakyatnya dan pada setiap senti tubuh si gadis yang tak sempurna.
Sang pria langit mengatakan pada si gadis dialah sang prianya, yang akan menjaganya dari kegelapan malam, melindunginya dari silau mentari; menyelamatkannya dari kesedihan; mencintai sepanjang sisa umur mereka dan berjuang untuk kebahagian si gadis. Si gadis tersentuh, belum pernah ada yang mengatakan hal sebaik itu padanya. Maka hiduplah mereka berdua dalam kerajaan yang di bangun ayah sang pria. Sang pria dengan sabar mengajari si gadis berenang dalam awan dingin, terbang melintasi planet-planet, mengajaknya berpetualang dari satu bintang ke bintang lain dan memperkenalkan kepada segenap bangsa langit dialah gadisnya. Kulit si gadis kini tidak lagi menyerap cahaya, meski tidak juga bercahaya. Hidup mereka diliputi keceriaan, gelak tawa dan ungkapan kasih sayang. Si gadis merasa beruntung, kini ia memiliki segalanya: teman, rumah dan keluarga. Namun si gadis masih merasa ada yang mengganjal. Ia ingin terbang dengan sayapnya sendiri, maka sang pria rela memberikan sebelah sayapnya untuk gadisnya. Si gadis bahagia luar –biasa, setiap hari dia terbang ke sana kemari, menjelajahi sudut langit yang tidak diketahuinya sebelumnya, menyambangi bintang baru dan mengunjungi matahari yang kini berteman dengannya. Sang pria langitnya mengingatkan untuk tidak pernah pergi jauh darinya karena kini sang pria tidak akan mampu mengejarnya. Sebetulnya sang pria langit sangat khawatir tiap kali gadis langitnya pergi, dia tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa gadisnya.
Si gadis kesal karena aturan pria langitnya, dia lalu memutuskan kabur dari kerajaan untuk berkelana ke penjuru langit. Si gadis terombang-ambing dalam gelombang kebingungan karena dia tidak tahu  kemana harus melangkah, dia berputar dari satu planet ke planet lain hingga akhirnya terdampar di bumi.
Si gadis terpana dengan kehidupan bumi yang begitu unik, ada ratusan, ribuan bahkan mungkin trilyunan makhluk yang berbeda satu sama lain di bumi. Ada yang berukuran mini, hitam, bersayap ada pula yang bertubuh besar, bertelinga lebar dan memiliki hidung yang sangat menawan. Terkadang ditemuinya makhluk yang sangat ganas, dengan taring panjangnya berenang mencari mangsa di suatu tempat yang dinamakan laut.
Si gadis lebih keheranan lagi saat mengawasi makhluk bernama manusia yang berjalan dengan dua kaki dan memiliki penutup tubuh berwarna warni dengan beragam bentuk dan corak. Si gadis langit berusaha mempelajari kehidupan manusia, dia mengintip dan mengikuti manusia yang menarik baginya. Si gadis tidak habis pikir pada beberapa jenis manusia yang menghabiskan waktunya hanya berdiam diri di rumah, mengeluh sepanjang hari dan pergi tidur untuk mengulang kegiatan yang sama esok harinya. Padahal tempat tinggal manusia sangat menarik, tidak ada tempat yang sama persis di bumi. Tumbuhan dengan beragam bentuk, bunga-bunga dengan keharuman yang berbeda, danau yang demikian tenang, laut yang menyimpan jutaan kehidupan, tidakkah itu menarik bagi manusia? Adapula jenis manusia yang tampaknya begitu menikmati dunianya, pergi dari rumah di pagi hari menuju suatu tempat yang dinamakan tempat kerja hingga larut malam, terkadang mereka masih memiliki energi untuk bersenang-senang sebelum pulang ke rumahnya dalam keadaan tidak sadar bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Ada pula manusia yang tampaknya tidak pernah sadar, mereka meracau setiap saat, berbicara tentang banyak hal yang tidak dimengerti si gadis langit, memperdebatkan sesuatu yang kadang sepele dan tidak ragu menyerang manusia lain saat tersudut.
Saat itulah si gadis merasa sangat takut pada manusia bumi, dia kembali menjelajahi bumi melewati sebuah gurun yang sangat kering, tidak ada tumbuhan hijau kesukaan si gadis langit, tidak ada nyanyian burung yang menyambut pagi, tidak ada bunga-bunga mekar yang dapat disentuhnya. Si gadis merasa kembali kesepian, anehnya dia kini mengenali rasa itu sebagai sesuatu yang akrab baginya, bukan sesuatu yang patut disedihkan. Si gadis mulai menyukai keheningan dan kehampaan yang menyelimuti hatinya, dia memutuskan tinggal di gurun itu entah untuk berapa lama.
Kemudian pada suatu hari yang sangat terik, si gadis bertemu dengan sesosok manusia yang tidak manusiawi, wujudnya menyerupai manusia normal, namun dia tidak memiliki hati layaknya manusia normal. Manusia bumi tersebut, seorang pria dengan tubuh kurus tidak terawat, sangat berbeda dari berbagi jenis manusia yang pernah ditemui si Gadis. Pria bumi tersebut tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti  manusia lain, dia tidak ketakutan saat bertemu si gadis langit, tidak merasa kesakitan saat kaki telanjangnya tertusuk kerikil tajam dan berdarah. Saat pria bumi menemukan air, dia bersikap datar saja, padahal air adalah harta di gurun kering tersebut. Bahkan tidak pernah terucap satu kalimat mengeluh atau sorak kegirangan dari bibirnya manusia bumi tersebut. Pria bumi itu memang unik, dia hidup layaknya mayat berjalan, tanpa asa, tanpa mimpi tanpa perasaan namun dia juga demikian hidup dengan gagasannya tentang aturan, tentang mimpi. Pria bumi sangat membenci aturan yang mengekang, kolot dan justru memberikan celah bagi manusia untuk melanggar. Dia juga tidak menyukai sesuatu yang sama dan monoton tiap hari. Impiannya sederhana, ia ingin mengembara untuk melihat keramaian dunia dan menemukan hal baru, apapun itu. Si gadis langit penasaran, dia bertanya banyak hal pada pria bumi yang lebih sering mengalihkan jawaban daripada menjawabnya dengan benar.
Si gadis justru semakin senang dengan sikap pria bumi tersebut, seolah menaklukan tantangan berat saat pria bumi meresponnya. Adrenalinnya terpacu saat mendengar cerita pengembaraan pria bumi yang entah benar atau tidak. Pemikiran dan ide pria bumi—yang rupanya berkelana demi bertemu dengan perempuan buminya—begitu merasuki Si Gadis. Si gadis mulai melihat bumi, langit dan kehidupannya dengan perspektif yang berbeda.
 Jika dulu kebahagiaannya diukur dengan gelak tawa dan ungkapan kasih, kini ia benar-benar menikmati kegetiran dan kesedihan sebagai bagian tak terpisahkan dari kebahagiaan itu sendiri. Jika dulu Si gadis mengutuki kecacatannya, kini ia berbangga hati atas ketidaksempurnaan yang membuatnya berbeda. Maka si gadis langit membuat keputusan penting untuk selamanya mengikuti pria bumi tersebut, pria buminya. Ia ingin mempelajari cara pria buminya bertahan hidup, ia ingin meneladani pikiran aneh pria buminya, ia ingin menekuni sikap pria buminya yang dingin, ia menginginkan pria buminya untuk dirinya sendiri. Si gadis bahkan melupakan sayap yang dulu sangat diimpikannya, Si gadis sekarang kini lebih menyukai berjalan dengan dua kaki seperti pria buminya karena dengan demikian ia dapat merasakan kasarnya batu dan lembutnya rerumputan tiap kali kakinya dijejakkan. Dengan berjalan,ia merasa lebih dekat, sangat dekat dengan kehidupan bumi yang teramat unik.  
Pria bumi tidak pernah mengerti mengapa si gadis terus mengganggunya, ia mendengar kehidupan dahulu si gadis di kerajaan langit yang begitu sempurna, mengapa ia justru memilih merasakan  ketidakpastian dalam perjalanan yang ingin ditempuh pria bumi tersebut. Entah apa yang ingin didapat si gadis dalam perjalanan mereka yang penuh bahaya, pria bumi berpikir selama si gadis tidak merepotkannya, dia akan membiarkan seperti hembusan angin, tidak lebih.
Si gadis belajar mensyukuri kehidupan, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya, dia melihat kengerian yang dirasakan manusia lain menjelang sekarat dalam perjalanan mereka. Dia ikut menyaksikan bagaimana kemiskinan mampu menimbulkan penderitaan luar biasa bagi yang mengalaminya. Dia merasakan kesakitan yang ditimbulkan akibat kebencian, penghancuran, peperangan dan perebutan kekuasaan. Meskipun pria buminya tidak pernah mengatakan, si gadis tahu alasan ‘kematirasaan’ yang dialami pria buminya pasti berkaitan dengan kenyataan hidup masa lalu pria buminya, atau mungkin pria bumi melihat dan belajar telalu banyak dari kisah orang lain sehingga ia berusaha untuk mematikan hatinya, melupakan nilai-nilai semu duniawi. Entahlah, si gadis tidak memikirkannya, baginya yang terpenting adalah dia dapat bersama pria bumi yang hanya menganggapnya hembusan angin, baginya cukup.
Suatu hari dalam perjalanan mereka, langit menggelontorkan limpahan hujan dan petir yang menyambar dengan dahsyat selama berhari-hari, menimbulkan berbagai bencana dan kepahitan amat dalam bagi manusia di seluruh pelosok bumi. Untuk pertama kalinya si gadis melihat pria buminya merenung, berpikir apa yang membuat langit begitu gundah, tersadarlah si gadis akan apa yang terjadi. Sudah menahun si gadis meninggalkan negeri langit, melupakan pria langitnya yang dengan setia menantinya pulang setiap saat. Si gadis langit pun dilanda keresahan, dia tahu pasti pria langitnya kini merana kehilangan dirinya, dapat dibayangkan kesedihan yang dialami pria langitnya, kerajaan langit pasti kacau sekarang karena Sang pangeran sekarat.
Si gadis merasa bersalah, namun dia tidak menyesali kepergiannya karena berkat pelariannya dia dapat bertemu pria buminya yang amat dikaguminya. Si gadis berhutang banyak pada pria langitnya yang telah mengajarinya tentang kesenangan dan keceriaan. Dia terutama merasa tidak mampu membalas kebaikan pria langitnya yang rela memberikan sayap indahnya yang kini tidak pernah digunakan. Dia ingin mengembalikan sayap kepada pria langitnya dan meminta maaf atas perbuatannya yang telah membuat susah, namun bila ia melakukan itu, dia tidak akan dapat terbang ke bumi lagi. Si gadis dilema, dia tahu sekarang dirinya benar-benar telah kecanduan pria buminya, tubuhnya ngilu setiap kali berjauhan dengan pria buminya; namun ia juga tahu tak adil rasanya menyakiti pria langitnya. Maka si gadis mengajak pria buminya bicara
“Aku mengajukan penawaran, bukan, permohonan, ini permohonanku padamu,” Si gadis langit membuka pembicaraan, pria buminya hanya memandangnya datar, “aku mohon, mintalah padaku.” Lanjut si gadis
“Aku tidak pernah menginginkan sesuatu, bagaimana aku menginginkan untuk meminta?” tanya pria bumi
“Kali ini mintalah. Mintalah padaku untuk tetap tinggal, mintalah padaku menemanimu dalam perjalananmu. Aku akan memayungimu dari cipratan air hujan, melenyapkan dahagamu di tengah gurun pasir, menghangatkanmu dari kebekuan dan menghiasi malammu dengan mimpi indah. Atau bahkan jika kau menghendaki, aku hanya akan diam mematung disisimu. Diam dan tak akan mengganggumu. Mintalah, katakan bahwa kau menginginkanku juga. Mintalah, mintalah padaku, apapun itu dan aku akan mengabulkannya.” Si gadis memohon
“Mengapa?”
“Karena akulah pengagummu, akulah pemujamu, akulah teman pengembaraanmu...”
“Kau salah alamat.” Kata-kata pria bumi menusuk perasaan si gadis, menghempaskannya dalam jurang patah hati yang dalam.
Si gadis berlari menerobos hujan lebat, petir masih memekakkan telinga namun kini ia seakan tuli setelah mendengar kata-kata menyakitkan dari pria buminya, meski ia sudah menduga pria buminya akan mengatakan hal tersebut. Si Gadis berjalan tertatih menuju desa terdekat, manusia bumi di desa tersebut masih mengungsi dari banjir yang menimpanya, mereka tidak memerhatikan keberadaan si Gadis. Lalu mata bening si gadis yang basah oleh hujan dan air mata tidak sengaja menangkap kemesraan sepasang manusia dalam tenda pengungsian. Mereka pasangan suami-istri renta yang saling menjaga, tangan si suami memeluk erat tubuh rapuh istrinya, sementara sang istri tidak henti mengelus punggung dan rambut suaminya dengan lembut. Mata istrinya sudah rabun sementara sang suami kini lumpuh. Inilah cinta tanpa syarat yang tidak memerlukan kemampuan indrawi untuk menyalurkannya. Si gadis terhenyak, dia menyendiri ke sebuah tempat sunyi. Lama dia berpikir tentang apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia dapat kembali ke negeri langitnya, pada pria langitnya yang mengasihinya segenap jiwa raga, yang bersedia melakukan apapun untuknya tanpa keraguan.
Si gadis memahami dengan pasti bahwa sang pria langit mampu membuatnya tersenyum dan tertawa riang setiap saat, namun bukan itu yang dia inginkan. Ia hanya menginginkan berada sedekat mungkin dengan pria buminya yang suram, yang hanya akan menganggapnya desau angin. Mungkin pria buminya hanya mampu menyediakan kegelisahan dan kegetiran namun itulah surganya, merasakan kesengsaraan bersama pria buminya. Si gadis berpikir dan terus berpikir hingga terdengar suara pertengkaran manusia bumi setelah hujan mulai reda, mereka meributkan jatah bantuan yang mereka dapatkan. Sebuah keyakinan muncul dalam hati si gadis, dia tahu apa yang harus diperbuatnya kini.
Maka kembali ditemuinya si pria bumi setelah si gadis berhasil menetapkan hatinya. Pria buminya—seperti biasa—hanya menatapnya dingin, si gadis menghela napas panjang sebelum mengatakan kalimat terakhir pada pria buminya.
  “andai dapat kuungkapkan betapa menyesalnya aku pada perpisahan kita, pasti akan kuungkapkan. Namun sayangnya tidak, aku bahagia, sangat bahagia. Membayangkan kau akan mengingatku sebagai aku yang sekarang, bukan aku yang akan menyusahkanmu dengan segala permintaan konyol yang mungkin akan terlintas di benakku nanti. Aku bahagia karena dengan perpisahan kita sekarang, kita tidak akan sempat bertengkar hanya karena kau tidak mampu menafkahiku dengan baik. Aku bahagia karena kita tidak akan pernah melalui masa saling mencurigai,  saling menghina dan kemudian saling menuduh. Aku bahagia karena aku dan kamu tidak akan bersama untuk alasan semu yang dikemukakan manusia saat memutuskan mengikat hidupnya satu sama lain. Aku sadar mungkin aku bukanlah teman seperjalananmu yang terbaik namun aku tahu suatu hari kau akan menyadari akulah pemuja utamamu. Akulah yang paling mengagumi seluk-beluk pemikiranmu, takjub pada setiap tindak-tandukmu, terpana pada setiap huruf yang terucap dari bibirmu. Aku akan pulang ke negeriku, untuk memenuhi takdirku, bukan untuk  kembali pada pria langitku. Meski aku hanya sekejap mengenalmu, namun dapat kukatakan akulah gadis langitmu, yang akan berdoa mengiringi tiap keberuntunganmu, yang akan mengisyaratkan kedipan bintang sebagai pertanda dukungan di tiap keinginan atau ’ketidakinginanmu’, akulah yang akan meredupkan sinar matahari saat cahayanya terlalu menyilaukanmu, akan kuabadikan segala yang ada dalam genggamanku hanya untuk menyertai dalam pencarianmu. Demi bumi yang akan kutinggal untuk selamanya dan demi langit yang akan kutinggali, aku mencintai setiap sel dalam tubuhmu, dengan cinta sederhana tanpa syarat seperti hembusan angin yang setia menemani perjalananmu, tidak akan meminta, tidak akan mengganggu. Aku cukup bahagia hanya dengan mencintaimu, pria bumiku...”
Si gadis langit lalu terbang ke negerinya tanpa pernah menoleh lagi ke belakang, meninggalkan pria buminya dan tidak pernah kembali.  

akhirnya, saya mau menulis lagi

tepatnya, akhirnya saya mau mempostkan keidiotan berpikir saya...

Dari Nol Menuju Tiga


Suatu hari, saya akan mewakili suara 200juta penduduk Indonesia pada dunia yang ironisnya masih saja memiliki pikiran negative, prasangka, terhadap orang lain.
Saya mendengar dengan saksama  curahan kekesalan hati sahabat terkasih saya lewat telepon genggam,  ada getar lirih dan amarah dalam nadanya. Kalimat itu memang tidak ditujukan untuk saya, namun ungkapan atas perlakuan diskriminatif yang (lagi-lagi) dialaminya tersebut tidak pernah pula diucapkannya pada orang yang dimaksud atau pada siapapun . Saya sangat memahami mengapa dia hanya mau menceritakannya pada saya, karena saya pun sering mengalami hal yang dirasakannya. Cibiran, hinaan, ledekan, sindiran dan kesinisan bertebaran  di hampir sepanjang sejarah kehidupan kami. Saya pernah membahas masalah ini, namun yang saya herankan, di tengah kekaguman saya pada gadis yang luar biasa cerdas dan berkepribadian menarik di ujung telepon ini, masih saja ada orang yang memandang rendah padanya. Padahal gadisku itu telah berhasil meretas jalan menuju  misi hidup yang dulu pernah kami tekadkan bersama,  membuktikan diri pada mereka yang melihat kami dengan sebelah mata.
“Aku tahu aku gak cerdas, gak cantik, tapi dia pasti gak pernah ngalamin apa yang kita rasain, dia gak tau rasanya diremehkan, di bully..”
Sekarang nuansa kesedihan menyeruak pada cerita gadisku berikutnya, orang berbeda yang memperlakukan dia (kembali) dengan tidak semestinya. Saya menghela nafas, orang-orang seperti kami, yang terbiasa dengan perlakuan buruk sedari kecil,  juga menjadi terbiasa menilai diri kami sendiri demikian rendah. Cukup dengan kata ‘kami’, karena kesamaan kami hanya seluas ini (dan karena saya tidak ingin mewakili pemikirannya yang mungkin akan saya salah-tafsirkan). Mungkin tak banyak orang mengerti, betapa setiap perbuatan, baik disengaja maupun tidak, akan berbekas lebih dari sekedar kenangan bagi orang lain. Sedikit pula yang peduli, tindakannya di masa lalu, berkontribusi terhadap pembentukan karakter dan pemikiran seseorang.  Saya mencoba untuk tidak menjadi drama queen, namun penjelasan saya kali ini memang harus menoleh ke belakang, di masa-masa suram saya. Saya kerap kali dipukul dan dilecehkan oleh teman sepermainan saya tanpa alasan yang jelas, terkadang hanya karena mereka ingin menjadikan saya badut. Saya marah bertahun-tahun, hampir seumur hidup saya, pada mereka yang menyakiti saya, namun saya lebih murka pada diri saya sendiri. Saya benci pada diri saya, lebih dari alasan karena saya tidak pernah bisa membela diri, saya menyesali perbedaan saya, kekurangan saya. Bahkan ada saat di mana saya merasa jijik pada diri saya sendiri hingga selalu menghindari cermin. Saya iri pada perempuan lain yang tidak perlu menenteng barang berat karena akan selalu ada pria yang bersedia melakukannya, jengah karena orang-orang cenderung akan melupakan nama saya namun tak akan alpa pada pandangan sekilasnya terhadap orang yang menarik perhatiannya. Pengalaman ini yang memunculkan satu obsesi pada diri saya : menjadi seperti orang lain,seseorang yang dikatakan manusia biasa. Jujur, saya pun bosan dengan topik ini, istilah ini, karena saya tidak lagi dipusingkan dengan konstruk tsb. Kelelahan saya atas upaya mencopy tindak-tanduk orang lain, membuat saya berpikir ulang mengenai pemahaman saya terhadap konsep manusia normal, bahkan terhadap konsep manusia itu sendiri. Saya bereksplorasi dengan pemikiran saya, menyusun pengalaman indrawi saya, dan berdiskusi dengan nurani saya, hingga sampai pada kesimpulan bahwa kepercayaan saya pada kehidupan manusia itu sendirilah jawabannya. Dalam keimanan saya, kehidupan manusia di bumi adalah sesuatu yang fana, yang akan digantikan oleh keabadian di alam lain. Maka menurut saya, manusia hanyalah wujud ilusi dari jiwa dan segala label yang menyertainya berarti juga hanya fantasi semu. Untuk apa saya berkeras menginginkan ilusi temporer sementara saya memiliki kenyataan selamanya? Terdengar norak dan sangat naïf memang, saya pun cekikikan saat membaca ulang statement saya. Namun saya memaklumi karena puluhan tahun saya telah membuang diri, padahal masalahnya hanya (lagi-lagi) logika berpikir saya. Seorang guru utama saya berkata, kenapa dipusingkan dengan istilah ‘manusia normal’ dan tidak normal. Kamu dilahirkan dan hidup, that’s all!
“Knowledge of human nature is the beginning and end of political education”. Henry Brooks Adam
           
*aah saya mulai tak konsen, ingin terbang ke tempat sahabat saya, memeluknya dan menegarkannya. Oh, saya lupa, orang2 yang terbiasa dengan hal yang hampir selalu membunuhnya lama kelamaan memiliki kekebalan sendiri pada hal mematikan tersebut. Saya tahu sahabat saya hanya ingin di dengar, dia pasti telah bosan mendengar kalimat penghibur dan penguat; esoknya dia akan kembali kuat dan ceria, saya tahu pasti itu!