Minggu, 28 Februari 2010

SATU KE TIGA


Lelaki itu tidak buta huruf, namun dia enggan menulis, bahkan tugas kuliahnya pun tak jarang hanya dipaste dari internet atau sumber tulisan lain. Dia bilang alasannya  karena dia tidak pandai berkata-kata. Mungkin benar. Setiap kami tengah menghabiskan waktu bersama, entah itu dalam perjalanan 250 km dari tempat kuliah ke habitat asli kami, atau ketika seharian menghabiskan waktu liburan, sayalah yang lebih sering berceloteh sementara dia hanya mengiyakan atau mentidakkan kalimat saya. Maka ketika suatu hari saya merengek meminta dibuatkannya rangkaian kata-kata, dia hanya terpaku. Dia bilang mintalah yang lain, saya jawab tidak mau. Perempuan lain mungkin menginginkan barang yang lebih konkret, entah mengapa saya percaya bahwa bahasa tulisan menggambarkan perasaan seseorang terhadap apa yang ditulisnya. Meski saya tidak menampik, banyak perayu ulung dan menipu kelas kakap juga pandai menyembunyikan kebenaran dalam kata-kata. Dia minta waktu seminggu, saya mengiyakan. Terserah, yang penting harus jadi.. Kemudian di hari jadi ikatan kami yang kedua*meski saya geli ada orang-orang yang menganggap tanggal ‘jadian’ sebagai hari penting, bagi saya itu hanya lelucon untuk menertawakan kebodohannya karena memilih saya, dia memberikan sebuah amplop surat biasa—yang berwarna putih dengan garis biru-merah di tepinya, persisi amplop yang biasa digunakan orang tua saya saat memberitahukan ketidakhadiran saya di sekolah pada guru saya. Saya membukanya, ada kertas binder berwana cokelat dengan gambar beruang teddy di dalamnya. Saya makin penasaran, apa hasil pemikirannya selama seminggu. Perlahan saya baca sepucuk surat dari pujaan hati saya tsb., saya mengerutkan kening, menajamkan mata lalu..tertawa sekerasnya!! Entah saya yang tidak tahu diri atau memang saya tidak berperasaan, saya merasa tulisan itu lucu sekali, norak, gombal*padahal saya lebih lihai menggombal darinya. Dia bengong kemudian geleng2 kepala, mungkin dia sudah memaklumi kelakuan saya yang tidak pernah bersikap manis padanya.

Sekarang, hampir dua tahun semenjak dia memberikan tulisannya pada saya—dan semenjak itu dia kapok berkata mesra pada saya—, saya masih menyimpan buah pikirannya tersebut. Saya membacanya berulang-ulang, anehnya tidak ada lagi kegelian dan kelucuan yang saya rasakan, jangan pula beranggapan kerinduanlah yang menggantikan rasa-rasa tsb. Tidak, saya bahkan tidak merasakan hal apapun.  Sungguh saya mengasihi pria yang setiap hari sabar meng sms saya yang kadang berhari-hari kemudian baru saya balas, sungguh tidak ada yang berubah pada hati saya terhadap dia yang rela menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk menjemput saya dari jatinangor-bekasi-lenteng agung-bogor-bekasi lagi bila dia berkesempatan pulang. Hanya saja, saya kini mengartikan lain hubungan kami. Beberapa waktu lalu saya pernah berkata padanya untuk meninggalkan saya, karena jika tidak, sayalah yang akan pergi. Dia terdiam, matanya berkaca-kaca, dia tidak berani menatap saya. Saya tahu perkataan saya amatlah kejam, tapi saya punya alasan. Saya melihat di masa depan, sayalah yang akan banyak mengaturnya dalam segala hal, menyiksanya dengan beragam tuntutan yang mungkin akan sulit dipenuhinya nanti. Saya sadar perbedaan kami tidak lagi akan saling melengkapi, namun akan melenyapkan kebaikan yang kini kami rasakan. Saya mungkin terlalu berprasangka buruk dan tidak mau memperjuangkan kebersamaan kami. Biarlah, cinta bukan kemerdekaan yang menjadi nilai mutlak untuk diraih walau dengan berdarah-darah. Dia berjanji akan berubah, saya menggeleng. Dulu di masa lalu saya ngotot merombaknya di sana-sini, menjadikannya seseorang yang saya inginkan, membuatnya tidak memiliki dirinya sendiri, saya tidak akan lagi melakukannya. Masalahnya tentu saja bukan sikap lembutnya, tapi duniakulah yang terlalu keras untuknya. Aku ingin dia mencoba cinta yang lain, bertemu dengan sebanyak mungkin manusia, hingga akhirnya dapat memutuskan yang terbaik untuknya, mungkin saya, mungkin juga bukan. Dia tetap pada pendiriannya untuk tetap berada di samping saya, menyokong saya, melindungi saya. Ah, dia memang persis seperti arti namanya, pelindung, namun saya tidak ingin justru dia tersakiti oleh orang yang hendak dilindunginya. Saya memegang HP nya,memutar lagu-lagu dari dalamnya tanpa minat, seperti yang biasa saya lakukan saat ia marah atau malas berbicara denganku. Ya, lagi-lagi dia membungkamku dengan keengganannya berbahasa. Sudahlah, mungkin suatu hari dia akan menyadari kebenaran pemikiran saya, biarlah dia memilih bertahan dengan kekerasan hatiku seperti yang biasa dilakukannya atau biarkanlah prediksi saya yang salah.Biarlah saya menjaga jarak dengannya, karena seperti kata guru saya “Jarak yang menghidupkan gejolak kita...” dan saya menambahkan*kesal karena akhirnya saya setuju dengan si guru sinting saya. “Jaraklah yang pada akhirnya mengantarkan saya memahami keindahan menanti dia pulang"

Wake up in the morning, stumble on my life
Can't get no love without sacrifice
If anything should happen, I guess I wish you well
A little bit of heaven, but a little bit of hell

This is the hardest story that I've ever told
No hope, or love, or glory
Happy endings gone forever more
I feel as if I'm wasted
And I'm wastin' every day
(Mika-Happy Ending)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar