Sabtu, 27 Februari 2010

Gadis Langitmu

Tersebutlah sebuah negeri entah berantah yang berada di langitan luas.Penduduknya adalah makhluk-makhluk langit yang rupawan, kulitnya memancarkan cahaya putih yang akan berpendar berwarna-warni sesuai dengan suasana hatinya; rambutnya yang halus berkilau keperakan apabila tertimpa sinar rembulan dan berubah temaram saat matahari muncul; matanya sejernih aliran hulu sungai yang belum tercemar; tiap senti tubuh makhluk langit mengeluarkan aroma wewangian yang bahkan lebih harum dari campuran bunga dan tumbuhan yang ada di muka bumi. Masing-masing makhluk langit memiliki sepasang sayap transparan layaknya sayap capung namun dengan bentuk hati utuh yang indah. Makhluk langit menyenangi cahaya, karenanya mereka selalu mengadakan pesta tiap hari mengundang matahari dan bintang; mereka pun sangat senang berenang di gumpalan awan dan menari di atas permukaan  bulan. Kehidupan makhluk-makhluk langit tersebut selalu diliputi kedamaian dan ketentraman hingga suatu hari lahir makhluk langit dari sebuah bintang mati, seorang gadis langit yang sangat berbeda dengan kaumnya.
Si gadis langit tidak memiliki kulit yang bercahaya, sebaliknya kulitnya menyerap cahaya di sekitarnya; rambutnya sangat kaku, berduri dan gelap; tubuhnya tidak bearoma apapun, bahkan si gadis langit hanya memiliki satu sayap di punggung kanannya. Mungkin satu-satunya yang nampak sedikit normal hanya mata beningnya, selebihnya buruk, tidak sempurna, cacat...
Semenjak kelahiran si Gadis langit, suasana di negri tersebut menjadi kacau, satu per satu sumber cahaya lenyap, matahari bahkan enggan berkunjung. Si gadis merasa sangat terasing, selain karena wujudnya yang berbeda, tak seorang pun mau menerimanya—tidak sebagai teman, keluarga bahkan musuh—semua sangat takut berada di dekatnya karena mereka beranggapan bahwa Si gadis langit sumber kesialan mereka. Si gadis langit diperangi oleh seluruh rakyat, anak-anak akan meludah saat didekati si Gadis, remaja akan bersorak dan melempar kerikil saat disapanya; orang dewasa mencibir dan mempermalukan si Gadis depan umum sementara orang-orang tua akan memalingkan wajah berpura-pura tidak mengetahui kedzaliman yang dibuat anak-cucu mereka terhadap si Gadis. Perlahan populasi manusia langit berkurang, sebagian masyarakat memilih hijrah ke negeri lain yang jauh lebih tentram. Keluarga kerajaan mengeluarkan titah bagi rakyat langit untuk menghormati hak-hak si gadis langit dan menganggapnya sebagai bagian kerajaan, sebuah keputusan yang dirumuskan melalui perundingan dan perdebatan alot, namun sayangnya semakin menyakitkan si Gadis, karena semua orang kini hanya akan bersikap palsu kepadanya demi mematuhi aturan kerajaan.
Si gadis lalu pergi mengembara ke ujung dunianya. Ketika hampir tiba pada tepi negerinya, seorang manusia langit menyapanya, pria langit yang tidak pernah dilihat si gadis. Rupa sang pria langit persis sama dengan makhluk langit kebanyakan, hanya sayapnya jauh lebih indah. Tiap kali dikepakkan, sayap pria langit mengembang bak tirai kerajaan yang megah, transparan dengan semburat spektrum pelangi yang menawan. Si gadis benar-benar jatuh hati dan iri melihat sayap sang pria langit. Sang pria langit pun rupanya jatuh hati pada si gadis, dia terbang bermil-mil jauhnya dari pusat kerajaan hanya untuk mencari si gadis yang tersohor tersebut. Hatinya tergugah pada keberanian Si Gadis mengarungi akhir negerinya, pada ketegaran si gadis menghadapi cercaan rakyatnya dan pada setiap senti tubuh si gadis yang tak sempurna.
Sang pria langit mengatakan pada si gadis dialah sang prianya, yang akan menjaganya dari kegelapan malam, melindunginya dari silau mentari; menyelamatkannya dari kesedihan; mencintai sepanjang sisa umur mereka dan berjuang untuk kebahagian si gadis. Si gadis tersentuh, belum pernah ada yang mengatakan hal sebaik itu padanya. Maka hiduplah mereka berdua dalam kerajaan yang di bangun ayah sang pria. Sang pria dengan sabar mengajari si gadis berenang dalam awan dingin, terbang melintasi planet-planet, mengajaknya berpetualang dari satu bintang ke bintang lain dan memperkenalkan kepada segenap bangsa langit dialah gadisnya. Kulit si gadis kini tidak lagi menyerap cahaya, meski tidak juga bercahaya. Hidup mereka diliputi keceriaan, gelak tawa dan ungkapan kasih sayang. Si gadis merasa beruntung, kini ia memiliki segalanya: teman, rumah dan keluarga. Namun si gadis masih merasa ada yang mengganjal. Ia ingin terbang dengan sayapnya sendiri, maka sang pria rela memberikan sebelah sayapnya untuk gadisnya. Si gadis bahagia luar –biasa, setiap hari dia terbang ke sana kemari, menjelajahi sudut langit yang tidak diketahuinya sebelumnya, menyambangi bintang baru dan mengunjungi matahari yang kini berteman dengannya. Sang pria langitnya mengingatkan untuk tidak pernah pergi jauh darinya karena kini sang pria tidak akan mampu mengejarnya. Sebetulnya sang pria langit sangat khawatir tiap kali gadis langitnya pergi, dia tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa gadisnya.
Si gadis kesal karena aturan pria langitnya, dia lalu memutuskan kabur dari kerajaan untuk berkelana ke penjuru langit. Si gadis terombang-ambing dalam gelombang kebingungan karena dia tidak tahu  kemana harus melangkah, dia berputar dari satu planet ke planet lain hingga akhirnya terdampar di bumi.
Si gadis terpana dengan kehidupan bumi yang begitu unik, ada ratusan, ribuan bahkan mungkin trilyunan makhluk yang berbeda satu sama lain di bumi. Ada yang berukuran mini, hitam, bersayap ada pula yang bertubuh besar, bertelinga lebar dan memiliki hidung yang sangat menawan. Terkadang ditemuinya makhluk yang sangat ganas, dengan taring panjangnya berenang mencari mangsa di suatu tempat yang dinamakan laut.
Si gadis lebih keheranan lagi saat mengawasi makhluk bernama manusia yang berjalan dengan dua kaki dan memiliki penutup tubuh berwarna warni dengan beragam bentuk dan corak. Si gadis langit berusaha mempelajari kehidupan manusia, dia mengintip dan mengikuti manusia yang menarik baginya. Si gadis tidak habis pikir pada beberapa jenis manusia yang menghabiskan waktunya hanya berdiam diri di rumah, mengeluh sepanjang hari dan pergi tidur untuk mengulang kegiatan yang sama esok harinya. Padahal tempat tinggal manusia sangat menarik, tidak ada tempat yang sama persis di bumi. Tumbuhan dengan beragam bentuk, bunga-bunga dengan keharuman yang berbeda, danau yang demikian tenang, laut yang menyimpan jutaan kehidupan, tidakkah itu menarik bagi manusia? Adapula jenis manusia yang tampaknya begitu menikmati dunianya, pergi dari rumah di pagi hari menuju suatu tempat yang dinamakan tempat kerja hingga larut malam, terkadang mereka masih memiliki energi untuk bersenang-senang sebelum pulang ke rumahnya dalam keadaan tidak sadar bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Ada pula manusia yang tampaknya tidak pernah sadar, mereka meracau setiap saat, berbicara tentang banyak hal yang tidak dimengerti si gadis langit, memperdebatkan sesuatu yang kadang sepele dan tidak ragu menyerang manusia lain saat tersudut.
Saat itulah si gadis merasa sangat takut pada manusia bumi, dia kembali menjelajahi bumi melewati sebuah gurun yang sangat kering, tidak ada tumbuhan hijau kesukaan si gadis langit, tidak ada nyanyian burung yang menyambut pagi, tidak ada bunga-bunga mekar yang dapat disentuhnya. Si gadis merasa kembali kesepian, anehnya dia kini mengenali rasa itu sebagai sesuatu yang akrab baginya, bukan sesuatu yang patut disedihkan. Si gadis mulai menyukai keheningan dan kehampaan yang menyelimuti hatinya, dia memutuskan tinggal di gurun itu entah untuk berapa lama.
Kemudian pada suatu hari yang sangat terik, si gadis bertemu dengan sesosok manusia yang tidak manusiawi, wujudnya menyerupai manusia normal, namun dia tidak memiliki hati layaknya manusia normal. Manusia bumi tersebut, seorang pria dengan tubuh kurus tidak terawat, sangat berbeda dari berbagi jenis manusia yang pernah ditemui si Gadis. Pria bumi tersebut tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti  manusia lain, dia tidak ketakutan saat bertemu si gadis langit, tidak merasa kesakitan saat kaki telanjangnya tertusuk kerikil tajam dan berdarah. Saat pria bumi menemukan air, dia bersikap datar saja, padahal air adalah harta di gurun kering tersebut. Bahkan tidak pernah terucap satu kalimat mengeluh atau sorak kegirangan dari bibirnya manusia bumi tersebut. Pria bumi itu memang unik, dia hidup layaknya mayat berjalan, tanpa asa, tanpa mimpi tanpa perasaan namun dia juga demikian hidup dengan gagasannya tentang aturan, tentang mimpi. Pria bumi sangat membenci aturan yang mengekang, kolot dan justru memberikan celah bagi manusia untuk melanggar. Dia juga tidak menyukai sesuatu yang sama dan monoton tiap hari. Impiannya sederhana, ia ingin mengembara untuk melihat keramaian dunia dan menemukan hal baru, apapun itu. Si gadis langit penasaran, dia bertanya banyak hal pada pria bumi yang lebih sering mengalihkan jawaban daripada menjawabnya dengan benar.
Si gadis justru semakin senang dengan sikap pria bumi tersebut, seolah menaklukan tantangan berat saat pria bumi meresponnya. Adrenalinnya terpacu saat mendengar cerita pengembaraan pria bumi yang entah benar atau tidak. Pemikiran dan ide pria bumi—yang rupanya berkelana demi bertemu dengan perempuan buminya—begitu merasuki Si Gadis. Si gadis mulai melihat bumi, langit dan kehidupannya dengan perspektif yang berbeda.
 Jika dulu kebahagiaannya diukur dengan gelak tawa dan ungkapan kasih, kini ia benar-benar menikmati kegetiran dan kesedihan sebagai bagian tak terpisahkan dari kebahagiaan itu sendiri. Jika dulu Si gadis mengutuki kecacatannya, kini ia berbangga hati atas ketidaksempurnaan yang membuatnya berbeda. Maka si gadis langit membuat keputusan penting untuk selamanya mengikuti pria bumi tersebut, pria buminya. Ia ingin mempelajari cara pria buminya bertahan hidup, ia ingin meneladani pikiran aneh pria buminya, ia ingin menekuni sikap pria buminya yang dingin, ia menginginkan pria buminya untuk dirinya sendiri. Si gadis bahkan melupakan sayap yang dulu sangat diimpikannya, Si gadis sekarang kini lebih menyukai berjalan dengan dua kaki seperti pria buminya karena dengan demikian ia dapat merasakan kasarnya batu dan lembutnya rerumputan tiap kali kakinya dijejakkan. Dengan berjalan,ia merasa lebih dekat, sangat dekat dengan kehidupan bumi yang teramat unik.  
Pria bumi tidak pernah mengerti mengapa si gadis terus mengganggunya, ia mendengar kehidupan dahulu si gadis di kerajaan langit yang begitu sempurna, mengapa ia justru memilih merasakan  ketidakpastian dalam perjalanan yang ingin ditempuh pria bumi tersebut. Entah apa yang ingin didapat si gadis dalam perjalanan mereka yang penuh bahaya, pria bumi berpikir selama si gadis tidak merepotkannya, dia akan membiarkan seperti hembusan angin, tidak lebih.
Si gadis belajar mensyukuri kehidupan, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya, dia melihat kengerian yang dirasakan manusia lain menjelang sekarat dalam perjalanan mereka. Dia ikut menyaksikan bagaimana kemiskinan mampu menimbulkan penderitaan luar biasa bagi yang mengalaminya. Dia merasakan kesakitan yang ditimbulkan akibat kebencian, penghancuran, peperangan dan perebutan kekuasaan. Meskipun pria buminya tidak pernah mengatakan, si gadis tahu alasan ‘kematirasaan’ yang dialami pria buminya pasti berkaitan dengan kenyataan hidup masa lalu pria buminya, atau mungkin pria bumi melihat dan belajar telalu banyak dari kisah orang lain sehingga ia berusaha untuk mematikan hatinya, melupakan nilai-nilai semu duniawi. Entahlah, si gadis tidak memikirkannya, baginya yang terpenting adalah dia dapat bersama pria bumi yang hanya menganggapnya hembusan angin, baginya cukup.
Suatu hari dalam perjalanan mereka, langit menggelontorkan limpahan hujan dan petir yang menyambar dengan dahsyat selama berhari-hari, menimbulkan berbagai bencana dan kepahitan amat dalam bagi manusia di seluruh pelosok bumi. Untuk pertama kalinya si gadis melihat pria buminya merenung, berpikir apa yang membuat langit begitu gundah, tersadarlah si gadis akan apa yang terjadi. Sudah menahun si gadis meninggalkan negeri langit, melupakan pria langitnya yang dengan setia menantinya pulang setiap saat. Si gadis langit pun dilanda keresahan, dia tahu pasti pria langitnya kini merana kehilangan dirinya, dapat dibayangkan kesedihan yang dialami pria langitnya, kerajaan langit pasti kacau sekarang karena Sang pangeran sekarat.
Si gadis merasa bersalah, namun dia tidak menyesali kepergiannya karena berkat pelariannya dia dapat bertemu pria buminya yang amat dikaguminya. Si gadis berhutang banyak pada pria langitnya yang telah mengajarinya tentang kesenangan dan keceriaan. Dia terutama merasa tidak mampu membalas kebaikan pria langitnya yang rela memberikan sayap indahnya yang kini tidak pernah digunakan. Dia ingin mengembalikan sayap kepada pria langitnya dan meminta maaf atas perbuatannya yang telah membuat susah, namun bila ia melakukan itu, dia tidak akan dapat terbang ke bumi lagi. Si gadis dilema, dia tahu sekarang dirinya benar-benar telah kecanduan pria buminya, tubuhnya ngilu setiap kali berjauhan dengan pria buminya; namun ia juga tahu tak adil rasanya menyakiti pria langitnya. Maka si gadis mengajak pria buminya bicara
“Aku mengajukan penawaran, bukan, permohonan, ini permohonanku padamu,” Si gadis langit membuka pembicaraan, pria buminya hanya memandangnya datar, “aku mohon, mintalah padaku.” Lanjut si gadis
“Aku tidak pernah menginginkan sesuatu, bagaimana aku menginginkan untuk meminta?” tanya pria bumi
“Kali ini mintalah. Mintalah padaku untuk tetap tinggal, mintalah padaku menemanimu dalam perjalananmu. Aku akan memayungimu dari cipratan air hujan, melenyapkan dahagamu di tengah gurun pasir, menghangatkanmu dari kebekuan dan menghiasi malammu dengan mimpi indah. Atau bahkan jika kau menghendaki, aku hanya akan diam mematung disisimu. Diam dan tak akan mengganggumu. Mintalah, katakan bahwa kau menginginkanku juga. Mintalah, mintalah padaku, apapun itu dan aku akan mengabulkannya.” Si gadis memohon
“Mengapa?”
“Karena akulah pengagummu, akulah pemujamu, akulah teman pengembaraanmu...”
“Kau salah alamat.” Kata-kata pria bumi menusuk perasaan si gadis, menghempaskannya dalam jurang patah hati yang dalam.
Si gadis berlari menerobos hujan lebat, petir masih memekakkan telinga namun kini ia seakan tuli setelah mendengar kata-kata menyakitkan dari pria buminya, meski ia sudah menduga pria buminya akan mengatakan hal tersebut. Si Gadis berjalan tertatih menuju desa terdekat, manusia bumi di desa tersebut masih mengungsi dari banjir yang menimpanya, mereka tidak memerhatikan keberadaan si Gadis. Lalu mata bening si gadis yang basah oleh hujan dan air mata tidak sengaja menangkap kemesraan sepasang manusia dalam tenda pengungsian. Mereka pasangan suami-istri renta yang saling menjaga, tangan si suami memeluk erat tubuh rapuh istrinya, sementara sang istri tidak henti mengelus punggung dan rambut suaminya dengan lembut. Mata istrinya sudah rabun sementara sang suami kini lumpuh. Inilah cinta tanpa syarat yang tidak memerlukan kemampuan indrawi untuk menyalurkannya. Si gadis terhenyak, dia menyendiri ke sebuah tempat sunyi. Lama dia berpikir tentang apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia dapat kembali ke negeri langitnya, pada pria langitnya yang mengasihinya segenap jiwa raga, yang bersedia melakukan apapun untuknya tanpa keraguan.
Si gadis memahami dengan pasti bahwa sang pria langit mampu membuatnya tersenyum dan tertawa riang setiap saat, namun bukan itu yang dia inginkan. Ia hanya menginginkan berada sedekat mungkin dengan pria buminya yang suram, yang hanya akan menganggapnya desau angin. Mungkin pria buminya hanya mampu menyediakan kegelisahan dan kegetiran namun itulah surganya, merasakan kesengsaraan bersama pria buminya. Si gadis berpikir dan terus berpikir hingga terdengar suara pertengkaran manusia bumi setelah hujan mulai reda, mereka meributkan jatah bantuan yang mereka dapatkan. Sebuah keyakinan muncul dalam hati si gadis, dia tahu apa yang harus diperbuatnya kini.
Maka kembali ditemuinya si pria bumi setelah si gadis berhasil menetapkan hatinya. Pria buminya—seperti biasa—hanya menatapnya dingin, si gadis menghela napas panjang sebelum mengatakan kalimat terakhir pada pria buminya.
  “andai dapat kuungkapkan betapa menyesalnya aku pada perpisahan kita, pasti akan kuungkapkan. Namun sayangnya tidak, aku bahagia, sangat bahagia. Membayangkan kau akan mengingatku sebagai aku yang sekarang, bukan aku yang akan menyusahkanmu dengan segala permintaan konyol yang mungkin akan terlintas di benakku nanti. Aku bahagia karena dengan perpisahan kita sekarang, kita tidak akan sempat bertengkar hanya karena kau tidak mampu menafkahiku dengan baik. Aku bahagia karena kita tidak akan pernah melalui masa saling mencurigai,  saling menghina dan kemudian saling menuduh. Aku bahagia karena aku dan kamu tidak akan bersama untuk alasan semu yang dikemukakan manusia saat memutuskan mengikat hidupnya satu sama lain. Aku sadar mungkin aku bukanlah teman seperjalananmu yang terbaik namun aku tahu suatu hari kau akan menyadari akulah pemuja utamamu. Akulah yang paling mengagumi seluk-beluk pemikiranmu, takjub pada setiap tindak-tandukmu, terpana pada setiap huruf yang terucap dari bibirmu. Aku akan pulang ke negeriku, untuk memenuhi takdirku, bukan untuk  kembali pada pria langitku. Meski aku hanya sekejap mengenalmu, namun dapat kukatakan akulah gadis langitmu, yang akan berdoa mengiringi tiap keberuntunganmu, yang akan mengisyaratkan kedipan bintang sebagai pertanda dukungan di tiap keinginan atau ’ketidakinginanmu’, akulah yang akan meredupkan sinar matahari saat cahayanya terlalu menyilaukanmu, akan kuabadikan segala yang ada dalam genggamanku hanya untuk menyertai dalam pencarianmu. Demi bumi yang akan kutinggal untuk selamanya dan demi langit yang akan kutinggali, aku mencintai setiap sel dalam tubuhmu, dengan cinta sederhana tanpa syarat seperti hembusan angin yang setia menemani perjalananmu, tidak akan meminta, tidak akan mengganggu. Aku cukup bahagia hanya dengan mencintaimu, pria bumiku...”
Si gadis langit lalu terbang ke negerinya tanpa pernah menoleh lagi ke belakang, meninggalkan pria buminya dan tidak pernah kembali.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar