Sabtu, 27 Februari 2010

Dari Nol Menuju Tiga


Suatu hari, saya akan mewakili suara 200juta penduduk Indonesia pada dunia yang ironisnya masih saja memiliki pikiran negative, prasangka, terhadap orang lain.
Saya mendengar dengan saksama  curahan kekesalan hati sahabat terkasih saya lewat telepon genggam,  ada getar lirih dan amarah dalam nadanya. Kalimat itu memang tidak ditujukan untuk saya, namun ungkapan atas perlakuan diskriminatif yang (lagi-lagi) dialaminya tersebut tidak pernah pula diucapkannya pada orang yang dimaksud atau pada siapapun . Saya sangat memahami mengapa dia hanya mau menceritakannya pada saya, karena saya pun sering mengalami hal yang dirasakannya. Cibiran, hinaan, ledekan, sindiran dan kesinisan bertebaran  di hampir sepanjang sejarah kehidupan kami. Saya pernah membahas masalah ini, namun yang saya herankan, di tengah kekaguman saya pada gadis yang luar biasa cerdas dan berkepribadian menarik di ujung telepon ini, masih saja ada orang yang memandang rendah padanya. Padahal gadisku itu telah berhasil meretas jalan menuju  misi hidup yang dulu pernah kami tekadkan bersama,  membuktikan diri pada mereka yang melihat kami dengan sebelah mata.
“Aku tahu aku gak cerdas, gak cantik, tapi dia pasti gak pernah ngalamin apa yang kita rasain, dia gak tau rasanya diremehkan, di bully..”
Sekarang nuansa kesedihan menyeruak pada cerita gadisku berikutnya, orang berbeda yang memperlakukan dia (kembali) dengan tidak semestinya. Saya menghela nafas, orang-orang seperti kami, yang terbiasa dengan perlakuan buruk sedari kecil,  juga menjadi terbiasa menilai diri kami sendiri demikian rendah. Cukup dengan kata ‘kami’, karena kesamaan kami hanya seluas ini (dan karena saya tidak ingin mewakili pemikirannya yang mungkin akan saya salah-tafsirkan). Mungkin tak banyak orang mengerti, betapa setiap perbuatan, baik disengaja maupun tidak, akan berbekas lebih dari sekedar kenangan bagi orang lain. Sedikit pula yang peduli, tindakannya di masa lalu, berkontribusi terhadap pembentukan karakter dan pemikiran seseorang.  Saya mencoba untuk tidak menjadi drama queen, namun penjelasan saya kali ini memang harus menoleh ke belakang, di masa-masa suram saya. Saya kerap kali dipukul dan dilecehkan oleh teman sepermainan saya tanpa alasan yang jelas, terkadang hanya karena mereka ingin menjadikan saya badut. Saya marah bertahun-tahun, hampir seumur hidup saya, pada mereka yang menyakiti saya, namun saya lebih murka pada diri saya sendiri. Saya benci pada diri saya, lebih dari alasan karena saya tidak pernah bisa membela diri, saya menyesali perbedaan saya, kekurangan saya. Bahkan ada saat di mana saya merasa jijik pada diri saya sendiri hingga selalu menghindari cermin. Saya iri pada perempuan lain yang tidak perlu menenteng barang berat karena akan selalu ada pria yang bersedia melakukannya, jengah karena orang-orang cenderung akan melupakan nama saya namun tak akan alpa pada pandangan sekilasnya terhadap orang yang menarik perhatiannya. Pengalaman ini yang memunculkan satu obsesi pada diri saya : menjadi seperti orang lain,seseorang yang dikatakan manusia biasa. Jujur, saya pun bosan dengan topik ini, istilah ini, karena saya tidak lagi dipusingkan dengan konstruk tsb. Kelelahan saya atas upaya mencopy tindak-tanduk orang lain, membuat saya berpikir ulang mengenai pemahaman saya terhadap konsep manusia normal, bahkan terhadap konsep manusia itu sendiri. Saya bereksplorasi dengan pemikiran saya, menyusun pengalaman indrawi saya, dan berdiskusi dengan nurani saya, hingga sampai pada kesimpulan bahwa kepercayaan saya pada kehidupan manusia itu sendirilah jawabannya. Dalam keimanan saya, kehidupan manusia di bumi adalah sesuatu yang fana, yang akan digantikan oleh keabadian di alam lain. Maka menurut saya, manusia hanyalah wujud ilusi dari jiwa dan segala label yang menyertainya berarti juga hanya fantasi semu. Untuk apa saya berkeras menginginkan ilusi temporer sementara saya memiliki kenyataan selamanya? Terdengar norak dan sangat naïf memang, saya pun cekikikan saat membaca ulang statement saya. Namun saya memaklumi karena puluhan tahun saya telah membuang diri, padahal masalahnya hanya (lagi-lagi) logika berpikir saya. Seorang guru utama saya berkata, kenapa dipusingkan dengan istilah ‘manusia normal’ dan tidak normal. Kamu dilahirkan dan hidup, that’s all!
“Knowledge of human nature is the beginning and end of political education”. Henry Brooks Adam
           
*aah saya mulai tak konsen, ingin terbang ke tempat sahabat saya, memeluknya dan menegarkannya. Oh, saya lupa, orang2 yang terbiasa dengan hal yang hampir selalu membunuhnya lama kelamaan memiliki kekebalan sendiri pada hal mematikan tersebut. Saya tahu sahabat saya hanya ingin di dengar, dia pasti telah bosan mendengar kalimat penghibur dan penguat; esoknya dia akan kembali kuat dan ceria, saya tahu pasti itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar