Sabtu, 27 Maret 2010

Penghujanku



Sudah terlampau lama aku mengurung umpatan, gusaran, makian dan teman-teman sejawatnya dalam kotak kepasrahan yang hari ini begitu ingin kuledakkan hingga berceceran.
Dan berulang kali mengenali rasa ingin ini sebatas hembusan tiada arti, menguap begitu saja saat lagi-lagi keterbatasanku memojokkan pada kepengecutan akan pikiran lain di luar sistemku.
Ya, aku manusia dengan seribu macam phobia yang menggerakkanku untuk mentolerir jutaan maaf, meski sesungguhnya aku tidak pernah ingin mengampuni.  Karena bagiku maaf tidak pernah mampu mengubah masa lalu, apalagi menyamankan masa depan.
Hari ini tangisku begitu ingin mencuat, mempertunjukkan dirinya pada mereka yang hanya pernah melihat seringai bodohku, meyakinkan mereka dan terutama diriku sendiri bahwa akupun manusia.
Lagi-lagi aku tidak sanggup, karena duniaku terlalu rapuh untuk diguncang walau dengan setetes air mata.
Maka kehadiranmu, hujan hari ini, cukup untuk meredam muntahan emosiku.
Rintik-rintikmu yang menyapa ubun-ubunku, telah mengokohkan kesabaran untuk berpijak kembali
Temperaturmu yang dingin mampu memadamkan segenap lonjakan ingin membakar masaku
Dan bahkan ketika kau beranjak, kau tinggalkan aroma tanah basah untuk menemaniku pulang menghadapi kegetiran
Meski hampir tiap hari aku begitu mengutuki kehadiranmu pada duniaku, namun kaulah alasan aku mensyukuri kehidupanku, penghujanku…

Minggu, 07 Maret 2010

Struggle to Still be...Naive? y!




The Earth is one but the world is not. We all depend on one biosphere for sustaining our lives. Yet each community, each country, strives for survival and prosperity with little regard for its impact on others. Some consume the Earth’s resources at a rate that would leave little for future generations. Others, many more in number, consume far too little and live with the prospect of hunger, squalor, disease, and early death. (World Commission on Environment and Development, Our Common Future, 1987)

Ada yang menarik dari pernyataan World Commission on Environment and Development tersebut, lebih dari sekadar pesan menjaga bumi kita satu-satunya untuk generasi selanjutnya, lebih dari pengingat betapa kesenjangan sosial adalah masalah nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya bukan pakar bidang lingkungan, bukan pula aktivis yang getol memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya agar dipertimbangkan dalam kebijakan pemerintah, saya hanya tertarik pada kalimat: Yet each community, each country, strives for survival and prosperity with little regard for its impact on others.
Baru beberapa hari ini saya berbincang-bincang dengan para sahabat lama saya mengenai pekerjaan kami, di tempat dan waktu yang berbeda. Rata-rata dari mereka mengeluhkan kehidupan politik kantor yang ternyata penuh dengan intrik, maklum, kami para lulusan baru yang tidak pernah membayangkan dunia kerja sebelumnya cukup terkejut dengan fakta yang kami rasakan*oke, saya mungkin belum mengalaminya. Seorang sahabat saya menuturkan betapa busuknya perlakuan teman-teman barunya. Contohnya di depan, mereka belaku layaknya anak kucing yang manis terhadapa para atasan dan rekan sejawatnya, namun di belakang, mereka saling mengumbar keburukan masing-masing. Sahabat saya, seorang calon diplomat RI itu berkata: “dan selama 37 tahun ke depan, gue akan satu tempat kerja dengan orang-orang seperti itu, lu bayangin, 37 tahun?? Gue rasa, gue gak akan nemu sahabat sejati di sini…”. Saya hanya mengerutkan alis mendengar ceritanya.
Di kesempatan lain, saya mendengarkan dengan cermat kisah sahabat pria saya yang justru dianggap sebagai ‘duri dalam daging’ di kantornya, saya mengenal pria ini dengan cukup baik, saya sering memanggilnya dengan sebutan kepala batu karena kekerasan pendiriannya, karena ketidakpeduliannya terhadap pendapat orang lain. Namun kali ini, dengan suara yang sangat lemah dan (mungkin) lelah dia memaparkan peristiwa yang dialaminya di tempat kerja, di mana dia dikucilkan karena alasan-alasan yang semakin tidak rasional, mulai dari kedekatannya dengan senior hingga pola berpacaran dengan kekasihnya. Kejadian tersebut membuatnya sedikit terpukul&merasa tidak betah, yang lebih mengejutkan, orang yang ‘mengompori’ suasana tidak nyaman tsb adalah seseorang yang berjuang bersamanya untuk dapat diterima di tempat kerja tsb. Kali ini saya tertawa, rupanya bukan hanya Negara saja yang menghalalkan segala cara demi tercapai kekuasaan dan kedamaian seperti dalam buku Morgenthau (Politics Among Nation: Struggle for Power and Peace). Setiap inti kehidupan, baik manusia, binatang, bahkan ‘sesuatu yang bersel satu’ berlomba, bertahan, berjuang, apapun itu istilahnya, demi sebuah ‘kedamaian’ (atau utopia?) yang berbeda makna dan bentuk bagi pelakunya. Manusia, memiliki parameter damai yang sangat beragam, ada yang mengartikannya sebagai sebuah keamanan jabatan, keterjaminan masa depan, ketercukupan, kenyamanan, kemudahan, apapun yang dapat memuaskannya. Sejujurnya, saya malas membahas konstruk tsb., karena saya sendiri tidak memahami pikiran semua orang, yang saya tahu, sahabat pria saya demikian terganggu dengan kegiatan ‘tikung-menikung’ di kantornya hingga kekeraskepalaannya memudar&sedikit mengubah kepribadiannya. Sahabat-sahabat saya balik bertanya, apa yang akan saya lakukan jika jadi mereka, saya hanya menjawab
“entahlah, gue cuma pengen hidup tenang, tentram,  yaa..bisa tersenyum dan tertawa tiap hari buat gue udah cukup. Gue ga mau ikut-ikutan ‘bertempur’ hanya untuk sesuatu yang temporal, yang bakal gue lepas kalo gue mati. Gue percaya gue punya waktu selamanya nanti, ngapain dipusingin masalah duniawi gini? Terkecuali, gue terpaksa melakukannya demi orang-orang yang berarti buat gue. Selebihnya, gue ga mau menyulut bahkan hanya perdebatan kecil..”
Dan giliran sahabat-sahabat saya yang menertawakan saya, seorang teman saya berkata bahwa saya tetap naïf seperti biasanya, seperti sepuluh tahun lalu saat saya masih berseragam putih-biru.  Terserah, mungkin dengan cara inilah saya menjaga dunia saya, bumi saya, dengan tetap menjadi seorang bocah yang mencintai hal kecil dan sederhana dalam hidupnya lalu melindunginya seperti mainan yang sangat saya sukai*meski saya tidak pernah memiliki mainan favorit.


We're the middle children of history.... no purpose or place.  We have no Great War, no Great Depression.  Our great war is a spiritual war.  Our great depression is our lives.  ~Fight Club movie

Selasa, 02 Maret 2010

For you, a thousand times over....




Dari dulu saya tidak pernah percaya pada satu cinta, satu pilihan, satu jodoh. Meskipun saya tidak ingin di poligini atau menjadi pelaku poliandri, saya percaya bahwa cinta bukanlah hitungan matematika yang akan berkurang tiap kali kita memasukan hal baru ke dalamnya. Saya sungguh mengasihi pria, pasangan, kekasih, apapun itu, yang bersama saya sekarang, namun saya tidak akan menyangkal bahwa saya juga masih menyimpan asa yang tidak berubah pada seseorang di masa lalu saya, juga pada pria-pria lain di sekitar saya. Tapi tenanglah, saya bukan ingin menceritakan roman gejolak cinta ala sinetron remaja zaman sekarang. Saya hanya ingin bercerita tentang pria yang saya cintai melebihi pria manapun di dunia ini, pria yang saya cintai semenjak saya masih berupa gumpalan darah dan akan saya kasihi sepanjang eksistensi saya, tanpa pernah dapat digantikan oleh pria mana pun di dunia ini. Pria yang tidak pernah mengetahui dengan pasti tanggal kelahirannya sendiri (dia bilang, zaman itu sedang susah, orang tidak punya kalender untuk menghitung penanggalan tapi saya tahu itu karena dia tidak pernah benar2 memikirkannya kecuali untuk persyaratan KTP), pria yang menghentikan kebiasaan menghirup nikotin kesayangannya demi empat pasang paru2 kecil dan sepasang paru2 dewasa di rumahnya, pria yang memutuskan meninggalkan pekerjaan besarnya demi terus tersambungnya doa kami pada Tuhan kami.
Pria ini tidak pernah mengatakan satu pun ungkapan cinta pada saya, pun sebaliknya saya tidak pernah berusaha mengungkapkan isi hati saya padanya. Dia membesarkan saya dengan cara yang teramat unik, tidak dengan kemesraan dan kemanjaan layaknya ayah lain. Tidak ada panggilan sayang pada saya, kami malah saling menggunakan bahasa gue-elu untuk mengganti kata saya dan kamu, dia sering meledek tentang tubuh gemuk saya & kelambanan berpikir saya, tak jarang pula kami bertengkar. Saya menebak, inilah cara dia membuat saya bertahan dalam kerapuhan dunia saya. 
 Contohnya, saya tidak yakin apa saya pernah dibelikannya boneka, seingat saya boneka pertama yang saya miliki adalah sebuah boneka anjing yang saya beli dari uang lebaran saya dan kemudian isi perutnya saya makan saat marah (ah, saya memang sakit jiwa dari kecil). Tapi dia selalu menyodorkan setiap bacaan yang dimilikinya, entah buku, koran, kitab, kamus, majalah, buletin yang menurutnya bermanfaat, pada saya. Kadang dia menyuruh saya membacanya, kadang hanya menaruhnya sampai saya tertarik. Mungkin, dia lebih senang saya berada di dalam nyata daripada berfantasi dengan mainan. Aneh memang, tapi manfaatnya saya rasakan sekarang. 

Dulu saya iri pada mereka yang dapat menceritakan masa kecil di tempat bermain favoritnya sementara saya hanya tahu rumah sakit sebagai arena saya. Sekarang saya hanya tertawa, karena ayah saya, disadari atau tidak, telah melatih saya untuk menerima kesuraman sebagai kenikmatan. Saya pernah marah padanya, saat dia memaksakan kehidupan yang sudah tidak saya inginkan lagi, saat itu saya ingin menyerah pada penyakit saya, pada hidup saya. Dia hanya berkata: “Lu punya iman?” ya, hanya itu. Dia membuat saya memahami bahwa setiap kesulitan hanya butuh keyakinan hati untuk menyelesaikannya. Sampai sekarang pun dia masih senang menguji kesabaran saya dengan mengejek pekerjaan saya dan membandingkannya dengan orang lain, saya yakin sekalipun saya memiliki pekerjaan paling prestisius, dia akan tetap mencari celah untuk menghinanya. Saya tahu maksudnya, ayah saya senang menguatkan saya dengan membuat saya belajar menerima kelemahan saya. Penyesalan terbesar saya adalah saya belum dapat membanggakannya, karena saya bukan dokter seperti anak pertamanya, calon pskiolog, atau seniman seperti bocah lelakinya, saya hanya seseorang yang tengah asyik dengan dunianya. Tapi saya tahu dia tidak pernah menyesali keberadaan saya yang penuh kecacatan, seperti saya juga tidak pernah menyesal dilahirkan sebagai anaknya.

Selamat bertambah angka satu tahun di KTP, tak peduli berapapun sebenarnya umurmu, bagiku kau tetap pria yang sama, yang akan menyediakan combro, pastel, risol atau momogi kesukaan saya setiap saya pulang kerja (dan akan selalu mengomentari kerakusan saya setiap saya menghabiskannya), yang selalu ketiduran di kursi setiap menunggu saya kemalaman bermain, yang sedari jam empat pagi menyiapkan bekal makan siang saya di kantor, dan yang akan mencubit pipi saya setiap kali saya berceletuk bodoh tentang suatu peristiwa. Meski tulisan ini tidak akan pernah sampai padanya, saya yakin dia akan paham, bahwa sepanjang eksistensi saya, saya akan selalu mengagumi dan mengasihinya serta bersedia melakukan apapun demi kebahagiaannya..apapun..kapanpun.. berapa kali pun...