Minggu, 07 Maret 2010

Struggle to Still be...Naive? y!




The Earth is one but the world is not. We all depend on one biosphere for sustaining our lives. Yet each community, each country, strives for survival and prosperity with little regard for its impact on others. Some consume the Earth’s resources at a rate that would leave little for future generations. Others, many more in number, consume far too little and live with the prospect of hunger, squalor, disease, and early death. (World Commission on Environment and Development, Our Common Future, 1987)

Ada yang menarik dari pernyataan World Commission on Environment and Development tersebut, lebih dari sekadar pesan menjaga bumi kita satu-satunya untuk generasi selanjutnya, lebih dari pengingat betapa kesenjangan sosial adalah masalah nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya bukan pakar bidang lingkungan, bukan pula aktivis yang getol memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya agar dipertimbangkan dalam kebijakan pemerintah, saya hanya tertarik pada kalimat: Yet each community, each country, strives for survival and prosperity with little regard for its impact on others.
Baru beberapa hari ini saya berbincang-bincang dengan para sahabat lama saya mengenai pekerjaan kami, di tempat dan waktu yang berbeda. Rata-rata dari mereka mengeluhkan kehidupan politik kantor yang ternyata penuh dengan intrik, maklum, kami para lulusan baru yang tidak pernah membayangkan dunia kerja sebelumnya cukup terkejut dengan fakta yang kami rasakan*oke, saya mungkin belum mengalaminya. Seorang sahabat saya menuturkan betapa busuknya perlakuan teman-teman barunya. Contohnya di depan, mereka belaku layaknya anak kucing yang manis terhadapa para atasan dan rekan sejawatnya, namun di belakang, mereka saling mengumbar keburukan masing-masing. Sahabat saya, seorang calon diplomat RI itu berkata: “dan selama 37 tahun ke depan, gue akan satu tempat kerja dengan orang-orang seperti itu, lu bayangin, 37 tahun?? Gue rasa, gue gak akan nemu sahabat sejati di sini…”. Saya hanya mengerutkan alis mendengar ceritanya.
Di kesempatan lain, saya mendengarkan dengan cermat kisah sahabat pria saya yang justru dianggap sebagai ‘duri dalam daging’ di kantornya, saya mengenal pria ini dengan cukup baik, saya sering memanggilnya dengan sebutan kepala batu karena kekerasan pendiriannya, karena ketidakpeduliannya terhadap pendapat orang lain. Namun kali ini, dengan suara yang sangat lemah dan (mungkin) lelah dia memaparkan peristiwa yang dialaminya di tempat kerja, di mana dia dikucilkan karena alasan-alasan yang semakin tidak rasional, mulai dari kedekatannya dengan senior hingga pola berpacaran dengan kekasihnya. Kejadian tersebut membuatnya sedikit terpukul&merasa tidak betah, yang lebih mengejutkan, orang yang ‘mengompori’ suasana tidak nyaman tsb adalah seseorang yang berjuang bersamanya untuk dapat diterima di tempat kerja tsb. Kali ini saya tertawa, rupanya bukan hanya Negara saja yang menghalalkan segala cara demi tercapai kekuasaan dan kedamaian seperti dalam buku Morgenthau (Politics Among Nation: Struggle for Power and Peace). Setiap inti kehidupan, baik manusia, binatang, bahkan ‘sesuatu yang bersel satu’ berlomba, bertahan, berjuang, apapun itu istilahnya, demi sebuah ‘kedamaian’ (atau utopia?) yang berbeda makna dan bentuk bagi pelakunya. Manusia, memiliki parameter damai yang sangat beragam, ada yang mengartikannya sebagai sebuah keamanan jabatan, keterjaminan masa depan, ketercukupan, kenyamanan, kemudahan, apapun yang dapat memuaskannya. Sejujurnya, saya malas membahas konstruk tsb., karena saya sendiri tidak memahami pikiran semua orang, yang saya tahu, sahabat pria saya demikian terganggu dengan kegiatan ‘tikung-menikung’ di kantornya hingga kekeraskepalaannya memudar&sedikit mengubah kepribadiannya. Sahabat-sahabat saya balik bertanya, apa yang akan saya lakukan jika jadi mereka, saya hanya menjawab
“entahlah, gue cuma pengen hidup tenang, tentram,  yaa..bisa tersenyum dan tertawa tiap hari buat gue udah cukup. Gue ga mau ikut-ikutan ‘bertempur’ hanya untuk sesuatu yang temporal, yang bakal gue lepas kalo gue mati. Gue percaya gue punya waktu selamanya nanti, ngapain dipusingin masalah duniawi gini? Terkecuali, gue terpaksa melakukannya demi orang-orang yang berarti buat gue. Selebihnya, gue ga mau menyulut bahkan hanya perdebatan kecil..”
Dan giliran sahabat-sahabat saya yang menertawakan saya, seorang teman saya berkata bahwa saya tetap naïf seperti biasanya, seperti sepuluh tahun lalu saat saya masih berseragam putih-biru.  Terserah, mungkin dengan cara inilah saya menjaga dunia saya, bumi saya, dengan tetap menjadi seorang bocah yang mencintai hal kecil dan sederhana dalam hidupnya lalu melindunginya seperti mainan yang sangat saya sukai*meski saya tidak pernah memiliki mainan favorit.


We're the middle children of history.... no purpose or place.  We have no Great War, no Great Depression.  Our great war is a spiritual war.  Our great depression is our lives.  ~Fight Club movie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar