Selasa, 02 Maret 2010

For you, a thousand times over....




Dari dulu saya tidak pernah percaya pada satu cinta, satu pilihan, satu jodoh. Meskipun saya tidak ingin di poligini atau menjadi pelaku poliandri, saya percaya bahwa cinta bukanlah hitungan matematika yang akan berkurang tiap kali kita memasukan hal baru ke dalamnya. Saya sungguh mengasihi pria, pasangan, kekasih, apapun itu, yang bersama saya sekarang, namun saya tidak akan menyangkal bahwa saya juga masih menyimpan asa yang tidak berubah pada seseorang di masa lalu saya, juga pada pria-pria lain di sekitar saya. Tapi tenanglah, saya bukan ingin menceritakan roman gejolak cinta ala sinetron remaja zaman sekarang. Saya hanya ingin bercerita tentang pria yang saya cintai melebihi pria manapun di dunia ini, pria yang saya cintai semenjak saya masih berupa gumpalan darah dan akan saya kasihi sepanjang eksistensi saya, tanpa pernah dapat digantikan oleh pria mana pun di dunia ini. Pria yang tidak pernah mengetahui dengan pasti tanggal kelahirannya sendiri (dia bilang, zaman itu sedang susah, orang tidak punya kalender untuk menghitung penanggalan tapi saya tahu itu karena dia tidak pernah benar2 memikirkannya kecuali untuk persyaratan KTP), pria yang menghentikan kebiasaan menghirup nikotin kesayangannya demi empat pasang paru2 kecil dan sepasang paru2 dewasa di rumahnya, pria yang memutuskan meninggalkan pekerjaan besarnya demi terus tersambungnya doa kami pada Tuhan kami.
Pria ini tidak pernah mengatakan satu pun ungkapan cinta pada saya, pun sebaliknya saya tidak pernah berusaha mengungkapkan isi hati saya padanya. Dia membesarkan saya dengan cara yang teramat unik, tidak dengan kemesraan dan kemanjaan layaknya ayah lain. Tidak ada panggilan sayang pada saya, kami malah saling menggunakan bahasa gue-elu untuk mengganti kata saya dan kamu, dia sering meledek tentang tubuh gemuk saya & kelambanan berpikir saya, tak jarang pula kami bertengkar. Saya menebak, inilah cara dia membuat saya bertahan dalam kerapuhan dunia saya. 
 Contohnya, saya tidak yakin apa saya pernah dibelikannya boneka, seingat saya boneka pertama yang saya miliki adalah sebuah boneka anjing yang saya beli dari uang lebaran saya dan kemudian isi perutnya saya makan saat marah (ah, saya memang sakit jiwa dari kecil). Tapi dia selalu menyodorkan setiap bacaan yang dimilikinya, entah buku, koran, kitab, kamus, majalah, buletin yang menurutnya bermanfaat, pada saya. Kadang dia menyuruh saya membacanya, kadang hanya menaruhnya sampai saya tertarik. Mungkin, dia lebih senang saya berada di dalam nyata daripada berfantasi dengan mainan. Aneh memang, tapi manfaatnya saya rasakan sekarang. 

Dulu saya iri pada mereka yang dapat menceritakan masa kecil di tempat bermain favoritnya sementara saya hanya tahu rumah sakit sebagai arena saya. Sekarang saya hanya tertawa, karena ayah saya, disadari atau tidak, telah melatih saya untuk menerima kesuraman sebagai kenikmatan. Saya pernah marah padanya, saat dia memaksakan kehidupan yang sudah tidak saya inginkan lagi, saat itu saya ingin menyerah pada penyakit saya, pada hidup saya. Dia hanya berkata: “Lu punya iman?” ya, hanya itu. Dia membuat saya memahami bahwa setiap kesulitan hanya butuh keyakinan hati untuk menyelesaikannya. Sampai sekarang pun dia masih senang menguji kesabaran saya dengan mengejek pekerjaan saya dan membandingkannya dengan orang lain, saya yakin sekalipun saya memiliki pekerjaan paling prestisius, dia akan tetap mencari celah untuk menghinanya. Saya tahu maksudnya, ayah saya senang menguatkan saya dengan membuat saya belajar menerima kelemahan saya. Penyesalan terbesar saya adalah saya belum dapat membanggakannya, karena saya bukan dokter seperti anak pertamanya, calon pskiolog, atau seniman seperti bocah lelakinya, saya hanya seseorang yang tengah asyik dengan dunianya. Tapi saya tahu dia tidak pernah menyesali keberadaan saya yang penuh kecacatan, seperti saya juga tidak pernah menyesal dilahirkan sebagai anaknya.

Selamat bertambah angka satu tahun di KTP, tak peduli berapapun sebenarnya umurmu, bagiku kau tetap pria yang sama, yang akan menyediakan combro, pastel, risol atau momogi kesukaan saya setiap saya pulang kerja (dan akan selalu mengomentari kerakusan saya setiap saya menghabiskannya), yang selalu ketiduran di kursi setiap menunggu saya kemalaman bermain, yang sedari jam empat pagi menyiapkan bekal makan siang saya di kantor, dan yang akan mencubit pipi saya setiap kali saya berceletuk bodoh tentang suatu peristiwa. Meski tulisan ini tidak akan pernah sampai padanya, saya yakin dia akan paham, bahwa sepanjang eksistensi saya, saya akan selalu mengagumi dan mengasihinya serta bersedia melakukan apapun demi kebahagiaannya..apapun..kapanpun.. berapa kali pun...



1 komentar:

  1. what a wonderful story.
    If I were your father, I must have been very proud of you :)

    BalasHapus